Monday, December 29, 2008

Renungan Tahun Baru Islam 1430 H:
Menuju Kemanusiaan Berbasis Tauhid

Oleh Nurul H. Maarif*

Kalender Islam (KI) kini telah menapaki usia ke-1430, tepat pada 29 Desember 2008. Itu berarti, peristiwa hijrah Nabi Muhammad Saw (terjadi pada 24 September 622 M) sebagai pijakan dimulainya KI telah terjadi 14 abad silam (perihal terbentuknya KI, lihat: MM Azami, 65 Sekretaris Nabi, 2008, hal. 24-29). Peristiwa hijrah ini memang klasik lantaran telah lama terjadi. Namun kandungan nilainya terus mengalami kebaruan dan kontektualitasnya tak pernah lapuk dimakan zaman.

Uraian demi uraian yang menggali nilai-nilai adiluhung hijrah terus dilakukan, hatta oleh akademisi nonmuslim. Mutiara dan hikmah kehidupan pun terkuak dengan berbagai cahaya kemilaunya. Sampai-sampai Muhammad Husain Haikal dalam Hayat Muhammad (1972) menyebut peristiwa ini sebagai “pembuka pintu baru dalam kehidupan politik.” Pasalnya, paska hijrah ini Nabi Saw mencanangkan dasar peradaban yang menghormati martabat dan HAM.

Nabi Saw misalnya, mengakui kebebasan beragama, menyatakan pendapat, jaminan keselamatan harta benda, larangan tindak kejahatan, dan sebagainya. Ini terbukti dengan diterbitkannya Piagam Madinah (Mitsaq Madinah) yang berisi kesepakatan hidup bersama antar berbagai ragam komunitas. Tahapan baru kehidupan Nabi Saw ini, oleh Guru Besar Sosiologi Universitas California AS Robert N Bellah, malah disebut sebagai kosmopolitanisme peradaban. Menurutnya, ini terlalu modern untuk ukuran Timur Tengah kala itu.

Ini baru satu sisi mutiara hijrah Nabi Saw. Masih banyak sisi lain yang tak kalah menarik diulas. Namun toh samudera inspirasi itu tak pernah kering. Bahkan terus menyemburkan nilai-nilai baru. Ibarat mutiara, peristiwa hijrah akan memancarkan cahaya berbeda-beda tergantung siapa yang memandangnya.

Dan benar saja, hijrah baik dalam pengertiannya yang leterlek maupun metaforis tak pernah mati. M. Abdullah al-Khatib dalam karyanya, Makna Hijrah Dulu dan Sekarang, mengisahkan sahabat yang sowan pada Nabi Saw dan berkata: “Ya Rasulullah, saya baru mengunjungi kaum yang berpendapat hijrah telah berakhir.” “Sesungguhnya hijrah tidak ada hentinya, hingga terhentinya tobat. Tobat pun tidak ada hentinya, hingga matahari terbit dari barat,” respon Nabi Saw.

Kemanusiaan Berbasis Tauhid
Diantara nilai adiluhung hijrah Nabi Saw, adalah pengajaran prinsip “kemanusiaan berbasis tauhid”. Maksudnya, prinsip yang mengedepankan kepedulian pada sisi kemanusiaan (kemiskinan, pendidikan kaum lemah, kesehatan kaum papa, dll), namun berpijak pada ketauhidan yang kukuh. Bukan kemanusiaan yang kering nilai ketauhidan.
Misalnya, sebelum Nabi Saw dan para sahabatnya eksodus ke Yatsrib (yang lantas menjadi Madinah), sisi ketauhidan lebih dulu ditancapkan di Makkah selama + 13 tahun. Di bumi spiritual Makkah – karena sebagai kiblat shalat dan poros haji – ayat-ayat ketauhidan yang banyak diturunkan. Ayat-ayat ini diniatkan sebagai landasan pacu mengarungi kehidupan ini.

Setelah ketauhidan ini kukuh, barulah Nabi Saw dan para sahabat dititahkan mengelola Madinah sebagai bumi kemanusiaan. Di sana, mereka harus berbaur dengan komunitas yang heterogen, baik agama maupun etnis. Ada Yahudi, Nasrani, Watsani (penyembah berhala) dan sebagainya. Lantas dicanangkan tata kehidupan bermasyarakat melalui Piagam Madinah. Di sinilah peran khalifah fi al-ardh begitu nyata, ketimbang di Makkah.

Di Madinah yang + 10 tahun ini, ayat-ayat tentang hubungan sosial, hubungan antar agama, kepedulian pada si lemah, termasuk ayat wajib zakat diturunkan. Ini karena orientasi kehidupan di Madinah lebih pada nilai humanisme ketimbang spiritualisme an sich. Namun, nilai kemanusiaan ini baru terlaksana setelah nilai ketauhidan tertanam kukuh. Karenanya, menjadi “tak ada makna” bahkan kering, nilai kemanusiaan yang tak dipondasi nilai ketauhidan. Hambar rasanya orang berzakat tanpa percaya wujud Allah SWT. Begitupun “tak ada nilai” orang yang percaya wujud Allah SWT tapi acuh pada nilai kemanusiaan.

Dengan demikian, keduanya – baik ketauhidan maupun kemanusiaan – harus berjalan beriringan, kendati ketauhidan tetap diletakkan sebagai pondasinya. Allah SWT berfirman: “Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta dan diri mereka, lebih tinggi derajatnya di sisi Allah. Itulah orang-orang yang beroleh kemenangan”. (Qs. at-Taubah: 20). Beriman dulu, berhijrah, dan baru berpikir tentang nilai kemanusiaan baik dengan harta maupun diri. Inilah orang yang beroleh kemenangan. Dan inilah altruisme, sifat mementingkan orang lain berbasis ketauhidan.

Peristiwa hijrah juga menunjukkan, kendati Makkah sebagai bumi spiritual sangat dicintai Nabi Saw dan bahkan berat ditinggalkan, tetap saja realitas sosial Madinah tak lantas diabaikannya. Kendati Makkah adalah tempat yang sungguh-sungguh menenteramkan batin, realitas kehidupan Madinah tetap harus diurus. Tak boleh berlama-lama di menara gading Makkah dengan acuh pada kondisi kemanusiaan di Madinah. Atas dasar itu, sudah seharusnya kita mengaca pada hijrah Nabi Saw; dalam konteks menuju kemanusiaan Madinah berbasis ketauhidan Makkah.

Pun demikian, tentu saja “fitrah”nya, spiritualisme akan lebih diimajinasikan oleh umat manusia ketimbang humanisme. Nabi Saw sendiri selalu ingin kembali ke bumi spiritual Makkah. Hingga akhirnya terjadilah Fathu Makkah pada 12 Ramadhan 8 H. Tapi sebagai khalifah di bumi yang ditugasi mengurus hal-ihwal kemanusiaan, Nabi Saw tidak lantas menetap di Makkah melainkan kembali ke Madinah hingga akhirnya meninggal di sana, di tengah tugas-tugas kemanusiaannya.

Akhirnya, marilah kita berhijrah menuju kemanusiaan dengan pondasi ketauhidan yang kukuh. Letakkanlah Allah SWT sebagai dasar dan orientasi kehidupan ini. “Siapa berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya menuju Allah dan Rasul-Nya. Siapa berhijrah karena dunia atau wanita, maka hijrahnya menuju yang ia inginkan.” (HR al-Bukhari dan Muslim). Wa Allah a’lam.[]

Jakarta, 24 Desember 2008
*Pengajar YPI Qothrotul Falah Cikulur Lebak Banten

Monday, November 24, 2008

Surat Terbuka untuk Bupati Lebak Terpilih 2009-2013

Oleh Nurul H. Maarif
Salam. Tuan Bupati Mulyadhi Jayabaya yang terhormat. Semoga Tuan senantiasa diberi kesehatan oleh Allah SWT untuk mengemban amanah sebagai pelayan masyarakat Lebak periode 2009-2013. Kemenangan Tuan, yang telak itu (62 % lebih), menunjukkan dukungan dan harapan yang begitu besar dari rakyat Tuan. Jagalah kepercayaan mereka dan tunaikanlah janji Tuan untuk mensejahterakan mereka, baik secara ekonomi, pendidikan, kesehatan maupun lainnya. Apalagi ini kali kedua Tuan dipercaya menduduki posisi yang sama.

Semoga pula, motivasi Tuan merebut posisi Bupati bukan lantaran thalab al-jah (mencari pangkat/kedudukan), melainkan karena panggilan dan tanggungjawab kemanusiaan. Yakinlah, jika motivasi pertama yang diniatkan, maka tak akan ada dukungan bagi Tuan. Dan mari renungkan kembali baik-baik firman Allah SWT, “Katakanlah (Muhammad)! Wahai Tuhan pemilik kekuasaan, Engkau berikan kekuasaan kepada siapapun yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kekuasaan dari siapapun yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapapun yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan siapapun yang Engkau kehendaki.” (Qs. Ali Imran ayat 26).

Semua nikmat ini, wahai Tuan, pertama-tama tak lain atas kehendak-Nya, disamping usaha Tuan dan tim Tuan yang sungguh-sungguh berjuang siang dan malam itu. Kami semua berharap, melalui “tangan” Tuan, Allah SWT menghendaki dan hendak menjadikan Lebak sebagai daerah yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Ini harapan kami semua, yang sudah semestinya juga menjadi harapan dan cita-cita Tuan. Semoga!

Wahai Tuan, Tuan kini milik kami semua, warga Lebak. Kendati mulanya Tuan diusung partai tertentu (karena ini persyaratan Pilkada), tak pelak lagi Tuan sekarang milik rakyat Lebak. Tuan bukan lagi milik partai pengusung. Tuan telah melebur dalam diri rakyat Lebak. Tuan adalah rakyat Lebak dan rakyat Lebak adalah Tuan. Pun, kendati ada diantara kami yang tidak memilih Tuan pada 16 Oktober 2008 lalu, karena kami memiliki pilihan, keyakinan, kreteria dan harapan sendiri, tapi Tuan kini pemimpin kami dan kami wajib menaatinya.

Bukalah tangan Tuan lebar-lebar untuk menerima siapapun yang mulanya tidak memilih Tuan. Bukalah juga tangan Tuan untuk “musuh-musuh” Tuan yang lain. Tak boleh ada ruang dendam di hati Tuan kendati sekecil dzarrah. Karena membangun daerah ini, mustahil berhasil jika Tuan sendirian, hanya dimiliki dan untuk segelintir orang/kelompok. Kita semua kini kawula Tuan, yang seluruhnya harus dan berhak diberi keadilan, karena hak dan kewajiban sebagai warga sama belaka dengan hak dan kewajiban para pengikut setia Tuan sebagai warga.

Wahai Tuan, pepatah lama mengatakan, sayyidul qaumi khadimuhum (pemimpin umat adalah pelayan mereka). Dengan menjadi Bupati, Tuan telah menyerahkan diri untuk menjadi pelayan rakyat Lebak yang sesungguhnya. Kewajiban Tuan melayani kami dan kewajiban kami menaati Tuan. Hajat hidup yang kami butuhkan, perbaikan ekonomi, pendidikan, kesehatan dan lainnya, karenanya hendaklah Tuan tunaikan dengan sebaiknya. Jangan sekali-kali Tuan lupa hakikat diri Tuan sebagai pelayan. Jika Tuan lupa sedikit saja, maka kealpaan akan terus menimpa Tuan. Ujungnya, harapan dan cita-cita seluruh warga Lebak tak akan terwujud. Tuanpun akan menjadi pecundang. Dan kami yakin, Tuan bukanlah tipe pemimpin yang demikian. Tuan adalah harapan sekaligus pelita kegelapan kami semua.

Tuan, besar harapan kami Tuan bisa meneladani lelaku Baginda Muhammad SAW yang tak mau makan atau minum sebelum seluruh sahabatnya makan dan minum. Di akhir masa kerasulannya, Beliau masih terus memikirkan nasib umatnya: ummati…ummati…. Pernah suatu ketika Beliau menyepelekan dan acuh pada sahabatnya yang buta, Abdullah bin Ummi Maktum, karena Beliau ingin mengambil hati para punggawa Kafir Quraisy. Beliau lantas ditegur keras oleh Allah SWT atas sikapnya yang “sok” elitis. Beliau bahkan dicap oleh-Nya sebagai “yang bermuka masam”. (Qs. ‘Abasa: 1-11). Beliapun insyaf dan senantiasa menyapa Abdullah dengan ucapan: marhaban biman atabani rabbi (Selamat datang wahai orang yang menyebabkan aku ditegur Allah SWT). Rasulpun sadar, orang kecil dan seakan tak berharga, yang lebih sering disepelekan, sesungguhnya mereka itulah yang lebih membutuhkan perhatian dan belaian kasih sayang pemimpin, termasuk Tuan.

Tuan, besar harapan kami Tuan bisa meneladani lelaku Baginda Abu Bakar al-Shiddiq yang tegas pada orang-orang yang merusak tatanan kehidupan berbangsa. Para pengingkar zakat yang diyakini akan merusak perekonomian dan tatanan negara, Beliau tak segan-segan menumpasnya. Bukan karena benci. Bukan pula karena dendam. Namun untuk menjaga stabilitas masyarakat dan untuk kepentingan kesejahteraan mereka.

Tuan, besar harapan kami Tuan bisa meneladani lelaku Baginda Umar bin al-Khattab yang rela bersusah-payah menggendong sekarung gandum untuk rakyatnya yang kelaparan. Beliau juga sosok yang mengayomi semua rakyatnya, termasuk mereka yang berbeda keyakinan atau agama sekalipun. Siapapun yang berada di wilayahnya, mereka adalah rakyatnya yang berhak mendapat perlindungan selayaknya sebagai warga.

Tuan, besar harapan kami Tuan bisa meneladani lelaku Baginda Usman bin ‘Affan yang zuhud pada harta dan tak tamak. Kendati Tuan dikelilingi tumpukan harta, hendaklah Tuan menempatkan harta-harta itu di luar hati Tuan. Jangan ia disimpan di dalam hati Tuan. Apalagi sampai lengket di hati. Inilah perilaku zuhud, yang saat ini jarang kita dapati dari para pemimpin di negeri ini. Kita tidak ingin, Tuan bernasib sama seperti sebagian pemimpin dan anggota dewan, yang karena ketamakan dan kerakusannya, lantas sisa umurnya dihabiskan di dalam jeruji besi yang pengap dan jauh dari kehormatan. Kami percaya Tuan bukan tipe pemimpin yang demikian.

Tuan, besar harapan kami Tuan bisa meneladani lelaku Baginda Ali bin Abi Thalib, yang begitu ketakutan ketika mendengar seekor Keledai (benar, cuma seekor Keledai yang “dungu”) terpeleset di sebuah jalan di wilayah kekuasaannya. Sebagai pemimpin yang bertanggungjawab pada kemaslahatan rakyat, Beliau begitu ketakutan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT baik di dunia maupun di akhirat atas cederenanya seekor Keledai. Mari kita renungkan! Keledai saja begitu diperhatikan oleh Beliau, apalagi manusia? Lalu, apa yang akan Tuan perbuat ketika melihat kondisi jalan-jalan dan sekolah-sekolah reot siap roboh di wilayah Tuan yang tidak hanya bisa mencederai hewan atau manusia, tapi bahkan bisa membunuh mereka?

Tuan, besar harapan kami Tuan bisa meneladani lelaku Baginda Umar bin Abdul Aziz yang tak mau menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi dan keluarga. Suatu ketika, puteranya datang untuk membincangkan masalah keluarga. Lampu penerang ruangan lantas Beliau matikan. Gelap gulita. Beliau beralasan, yang dibicarakan adalah urusan keluarga, sehingga tidak seharusnya menggunakan fasilitas negara. Ini memang lelaku tingkat tinggi yang tidak mudah diteladani, Tuan. Tapi, tidak ada yang mustahil di dunia ini, jika kita berniat.

Alangkah senang dan bahagianya, Tuan dipercaya melayani rakyat Lebak selama dua periode berturut-turut. Jarang yang punya kesempatan seperti Tuan. Karenanya, kami yakin, Tuan sangat tahu mana-mana hajat hidup masyarakat Lebak yang musti ditunaikan. Tuan juga sangat tahu, kebijakan Tuan haruslah senantiasa diorientasikan untuk kemaslahatan mereka (tasharruf al-imam ‘ala al-ra’iyyah manuth bi al-mashlahah). Tuan, jika kepemimpinan Tuan “hari ini” lebih buruk dari “kemarin”, maka Tuan dan rakyat Lebak celaka. Jika kepemimpinan Tuan “hari ini” sama dengan “kemarin”, maka Tuan dan rakyat Lebak merugi. Jika kepemimpinan Tuan “hari ini” lebih baik dari “kemarin”, maka Tuan dan rakyat Lebak beruntung. Tentu saja ini yang kita semua harap dan nantikan. Kami berdoa, semoga Tuan dan kita semua bisa menggapainya.

Tuan, yakinlah apa yang kami sampaikan ini bukanlah nasihat. Ini semata menunaikan tanggungjawab untuk saling mengingatkan sebagai sesama makhluk Allah SWT (tawashau bi al-haqq wa tawashau bi al-shabr). Harapan kami, Tuan termasuk pemimpin yang dikehendaki baik oleh Allah SWT, bukan sebaliknya. Dalam riwayat Sayyidah ‘Aisyah, Rasulullah SAW bersabda: Jika Allah SWT menghendaki kebaikan bagi seorang pemimpin, maka Allah SWT akan menjadikan baginya wazir shidqin (menteri atau tangan kanan yang jujur). Jika sang pemimpin salah/luput, wazir akan mengingatkannya dan jika sang pemimpin telah ingat, wazir lantas akan membantunya. Sebaliknya, jika Allah SWT menghendaki keburukan bagi seorang pemimpin, maka Allah SWT akan menjadikan baginya wazir su’in (menteri atau tangan kanan yang tidak jujur). Jika sang pemimpin salah/luput, wazir tidak akan mengingatkannya dan jika sang pemimpin telah ingat, wazir tidak akan membantunya. (HR Abu Dawud).

Untuk itu Tuan, sering-seringlah tengok pembantu-pembantu Tuan: apakah mereka ini termasuk wazir shidqin atau sebaliknya wazir su’in? Jika saja ada yang tidak beres dari mereka, segeralah ambil tindakan karena semua ini akan berdampak pada kepemimpinan Tuan, yang akhirnya juga berdampak pada rakyat. Lalu carilah wazir-wazir yang jujur dan berkomitmen tinggi mensejahterakan rakyat Lebak. Dan, tentu saja kami semua di belakang Tuan.

Akhirnya, bagi calon yang “kebetulan” belum menang, kami berharap mereka bisa legowo dan bisa merenungi ucapan bijak calon presiden Partai Republik, John McCain, yang kalah bersaing dengan Barack Husein Obama dari Partai Demokrat. “Dia (Obama) lawan utama saya semasa kampanye berlangsung. Sekarang dia presiden saya. Saya meminta seluruh warga AS mengucapkan selamat kepada Obama dan berharap AS di masa mendatang menjadi negara yang sejahtera, kuat, dan anak-anak kita aman, terhindar dari segala marabahaya.”

Sekarang, pilkada telah usai. Tidak ada lagi lawan dan tidak ada lagi musuh. Semua adalah kawan yang semestinya bersinergi dan bahu-membahu membangun Lebak hingga mewujud menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur, sesuai harapan kita semua. Sekian, mohon maaf, dan wa Allah a’lam. Wasalam.[]

*Penulis adalah rakyat Cikulur Lebak dan Pengajar YPI Qothrotul Falah Cikulur

Jum’at, 14 Novemver 2008

Wednesday, September 24, 2008

Pemimpin Berkarakter Thalut

Oleh Nurul H. Maarif

Melalui Qs. al-Baqarah [2]: 247, Allah SWT menceritakan penolakan Bani Israil atas penunjukan Thalut sebagai pemimpin, karena ia dinilai berasal dari keluarga miskin dan bukan darah biru. Cara pandang umat saat itu (dan bahkan saat ini), masih melihat seseorang dari aspek “harta” dan “keturunan”nya. Keduanya acapkali dianggap penentu sukses kepemimpinan seseorang, dan karenanya lebih dipentingkan dari karakter kepemimpinan itu sendiri.

Siapa sesungguhnya Thalut, yang hidup setelah zaman Nabi Musa AS? Menurut ‘Abd al-Razzâq al-Qasyânî, Thalut adalah rajulan faqiran la nasaba lahu wa la mala (lelaki miskin, bukan keturunan darah biru dan tak berharta). (Tafsir Ibn ‘Araby, 2001, jilid I, h. 81). Dalam Tafsir al-Thabari, Ibn Jarir al-Thabari menukil riwayat dari Ikrimah menyatakan, Thalut adalah penjual air – profesi yang dianggap mewakili strata kelas bawah.

Menurut al-Thabari, berdasarkan riwayat Qatadah, Thalut adalah keturunan Bunyamin, kelompok yang tidak memiliki darah kenabian dan kerajaan. Dalam tradisi Bani Israil, seorang pemimpin harus muncul dari latar belakang keturunan nabi dan raja (sabt nubuwwah wa sabt mamlakah). Itu sebabnya, ketika dua syarat ini tak terpenuhi, mereka lantas menolaknya. Dan Thalut, ditakdirkan bukan dari kelompok ini. Bani Israel pun ramai-ramai menolaknya. Mereka heran, kenapa orang “tak berharga” seperti Thalut justru dikirim sebagai pemimpin mereka.

Sesungguhnya, di balik “kekurangan”nya itu, Allah SWT memberi Thalut kelebihan berupa keunggulan intelektual dan tubuh yang perkasa (basthah fi al-‘ilm wa al-jism). (Qs. al-Baqarah [2]: 247). Diceritakan al-Thabari misalnya, Thalut mendapat karunia wahyu dari Allah SWT dan memiliki ukuran tubuh tinggi-besar, ukuran yang tidak pernah dimiliki orang pada masa itu. Inilah kelebihan Thalut; berwawasan luas sebagai prasyarakat manajerial kepemimpinannya dan berfisik tangguh sebagai prasyarat keperwiraannya sekaligus simbol keberanian dan ketegasannya. Dalam kokteks Thalut, ketangguhan fisik ini tak lain untuk mengalahkan Raja Jalut yang tiran dan represif pada rakyatnya.

Untuk itu, ‘Abd al-Razzâq al-Qasyânî menyatakan, seharusnya yang ditekankan bagi calon pemimpin adalah al-ruhaniyyah atau aspek spiritual berupa al-‘ilm (pengetahuan) dan al-badaniyyah atau aspek fisik berupa keperkasaan dan ketangguhan (ziyadah al-qawi, syiddah al-binyah/fithrah, dan al-basthah). Hal inilah yang tampaknya diabaikan Bani Israil. Mereka hanya menekankan aspek material dan mengabaikan aspek spiritual (yang justeru) sebagai ruh seorang pemimpin.

Karena pentingnya substansi kepemimpinan ini, tak heran jika suatu ketika seorang budak bernama Ibnu Abzi diberi amanat menggantikan sementara posisi Gubernur Makkah pada masa Khalifah Umar bin al-Khattab. Gubernur yang definitif, Nafi’ bin Harist al-Khuza’i, kala itu tengah keluar kota. Kenapa budak yang dipilih oleh Umar? Alasannya karena ia menguasai al-Qur’an dan Ilmu Faraidh. Penguasaan kedua hal ini melayakkannya dipilih sebagai pemimpin. Sama sekali Umar tak melirik latar belakang “harta” dan “keturunan”nya.

Dari peristiwa di atas, banyak hal yang dapat kita jadikan pelajaran terkait prosesi pilih-memilih dan angkat-mengangkat pemimpin. Pertama, sudah menjadi “tradisi” kita menggugat atau menyoal latar belakang calon pemimpin. Baik latar belakang “harta” atau “keturunan”. Tradisi ini telah berlangsung sepanjang masa. Malah sekarang ada tambahan “tradisi baru”, yaitu menggugat ijazah/latar belakang formal pendidikannya. Yang sarjana “diyakini” lebih baik dan jaminan kesuksesan dibanding yang non-sarjana. Gugatan ini biasanya dilakukan kelompok tertentu yang tidak setuju. Lagi-lagi yang dituntut bukan yang substansi, melainkan yang sampingan.

Kedua, point pokok kepemimpinan adalah basthah fi al-‘ilm wa al-jism. Tipe inilah yang berprinsip tasharruf al-imam ‘ala al-raiyyah manutun bi al-mashlahah (kebijakannya berorientasi untuk kemaslahatan umat). Tipe ini tak pandang agama dan latar belakang lainnya. Karenanya, Taqiyuddin bin Taimiyyah konon berpendapat, pemimpin/penguasa muslim yang zalim akan hancur, namun penguasa kafir yang adil akan langgeng. Titik tekannya “keadilan” bukan yang lainnya.

Ketiga, yang tak kalah penting, kepemimpinan itu tergantung izin Allah SWT. Hanya Allah SWT lah yang bisa mengangkat dan menurunkan seseorang dari posisi pemimpin. Thalut yang ditentang habis oleh umatnya, bisa jadi pemimpin atas kehendak-Nya. Kenyataan ini sekaligus untuk mengingatkan para pemimpin, bahwa kepemimpinannya tak datang dengan sendirinya. Sebab itu, kepemimpinannya harus disadari akan dimintai-Nya pertanggungjawaban, sehingga perilaku yang tidak diridhai-Nya akan dijauhi.

Keempat, berkat iman yang kokoh, komitmen, dedikasi yang tinggi, praktik hidup yang lurus, disiplin serta diiringi keridhaan Allah SWT, kelompok kecil yang dipimpin Thalut sanggup menggulingkan kelompok Jalut yang besar lagi tiran dan represif terhadap rakyat. Karenanya, tak boleh ada kesombongan pemimpin, bahwa dirinyalah yang besar dan kuat sehingga berhak sewenang-wenang pada rakyatnya. Jika bibit kesombongan ini telah muncul, maka tunggulah kehancurannya.

Itulah beberapa pelajaran penting terkait terpilihnya si penjual air Thalut sebagai pemimpin. Semoga kita tidak seperti Bani Israil yang gemar menggugat calon pemimpin hanya karena tidak sesuai “selera” kita. Semoga kita mendapatkan pemimpin yang berkarakter; unggul di bidang intelektual, manajerial dan tangguh. Detik demi detiknya untuk melayani umat beroleh keadilan dan kesejahteraan. Wa Allah a’lam.[]

Jakarta, 13 September 2008

Saturday, September 13, 2008

Keadilan dalam Islam*

Oleh Nurul H. Maarif

1. Terma-terma Keadilan

al-Qur’an, setidaknya menggunakan tiga terma untuk menyebut keadilan, yaitu al-‘adl, al-qisth, dan al-mîzân.

al-‘Adl, berarti “sama”, memberi kesan adanya dua pihak atau lebih; karena jika hanya satu pihak, tidak akan terjadi “persamaan”.

al-Qisth, berarti “bagian” (yang wajar dan patut). Ini tidak harus mengantarkan adanya “persamaan”. al-Qisth lebih umum dari al-‘adl. Karena itu, ketika al-Qur’ân menuntut seseorang berlaku adil terhadap dirinya, kata al-qisth yang digunakan. Allah SWT berfirman: Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak al-qisth (keadilan), menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri...(Surah al-Nisa’/4: 135).

al-Mîzân, berasal dari akar kata wazn (timbangan). al-Mîzân dapat berarti “keadilan”. al-Qur’an menegaskan alam raya ini ditegakkan atas dasar keadilan. Allah SWT berfirman: Dan langit ditegakkan dan Dia menetapkan al-mizan (neraca kesetimbangan). (Surah al-Rahman/55: 7).

2. Makna-makna Keadilan

Beberapa makna keadilan, antara lain;
Pertama, adil berarti “sama”

Sama berarti tidak membedakan seseorang dengan yang lain. Persamaan yang dimaksud dalam konteks ini adalah persamaan hak. Allah SWT berfirman: “Apabila kamu memutuskan perkara di antara manusia, maka hendaklah engkau memutuskannya dengan adil...” (Surah al-Nisa'/4: 58).

Manusia memang tidak seharusnya dibeda-bedakan satu sama lain berdasarkan latar belakangnya. Kaya-papa, laki-puteri, pejabat-rakyat, dan sebagainya, harus diposisikan setara.

Kedua, adil berarti “seimbang”

Allah SWT berfirman: Wahai manusia, apakah yang memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah? Yang menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu, dan mengadilkan kamu (menjadikan susunan tubuhmu seimbang). (Surah al-Infithar/82: 6-7).

Seandainya ada salah satu anggota tubuh kita berlebih atau berkurang dari kadar atau syarat yang seharusnya, pasti tidak akan terjadi keseimbangan (keadilan).

Ketiga, adil berarti “perhatian terhadap hak-hak individu dan memberikan hak-hak itu pada setiap pemiliknya”

“Adil” dalam hal ini bisa didefinisikan sebagai wadh al-syai’ fi mahallihi (menempatkan sesuatu pada tempatnya). Lawannya adalah “zalim”, yaitu wadh’ al-syai’ fi ghairi mahallihi (menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya). “Sungguh merusak permainan catur, jika menempatkan gajah di tempat raja,” ujar pepatah. Pengertian keadilan seperti ini akan melahirkan keadilan sosial.

Keempat, adil yang dinisbatkan pada Ilahi.

Semua wujud tidak memiliki hak atas Allah SWT. Keadilan Ilahi merupakan rahmat dan kebaikan-Nya. Keadilan-Nya mengandung konsekuensi bahwa rahmat Allah SWT tidak tertahan untuk diperoleh sejauh makhluk itu dapat meraihnya.

Allah disebut qaiman bilqisth (yang menegakkan keadilan) (Surah Ali ‘Imram/3: 18). Allah SWT berfirman: Dan Tuhanmu tidak berlaku aniaya kepada hamba-hamba-Nya (Surah Fushshilat/41: 46).

3. Perintah Berbuat Adil

Banyak sekali ayat al-Qur’an yang memerintah kita berbuat adil. Misalnya, Allah SWT berfirman: Berlaku adillah! Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. (Surah al-Ma-idah/5: 8).

Dijelaskan ayat ini, keadilan itu sangat dekat dengan ketakwaan. Orang yang berbuat adil berarti orang yang bertakwa. Orang yang tidak berbuat adil alias zalim berarti orang yang tidak bertakwa. Dan, hanya orang adil-lah (berarti orang yang bertakwa) yang bisa mensejahterakan masyarakatnya.

Dalam ayat lain, Allah SWT berfirman: Katakanlah, "Tuhanku memerintahkan menjalankan al-qisth (keadilan)" (Surah al-A’raf/7: 29). Sesungguhnya Allah memerintahkan berlaku adil dan berbuat ihsan (kebajikan) (Surah al-Nahl/16: 90). Sesungguhnya Allah telah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan (menyuruh kamu apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil). Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-sebaiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (Surah al-Nisa/4: 58).

Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang-orang yang benar-benar menegakkan Keadilan, menjadi saksi karena Allah, biarpun terhadap dirimu sendiri ataupun ibu bapakmu dan keluargamu. Jika ia kaya ataupun miskin, Allah lebih mengetahui keadaan keduanya, maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, sehingga kamu tidak berlaku adil. Jika kamu memutar balikkan, atau engggan menjadi saksi, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan. (Surah al-Nisa’/4:135).

Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. (Surah al-Hujurat/49: 9).

4. Bidang-bidang Keadilan

Beberapa bidang keadilan yang wajib ditegakkan, antara lain,
Pertama, keadilan hukum

Ayat-ayat yang telah disebutkan di atas, itulah ayat-ayat yang memerintahkan untuk menegakkan keadilan hukum, kendati pada diri dan keluarga kita sendiri. Ketegasan tanpa pandang bulu inilah yang juga diteladankan Nabi Muhammad Saw.

Diriwayatkan, pada masa beliau, seorang perempuan dari keluarga bangsawan Suku al-Makhzumiyah bernama Fatimah al-Makhzumiyah ketahuan mencuri bokor emas. Pencurian ini membuat jajaran pembesar Suku al-Makhzumiyah gempar dan sangat malu. Apalagi, jerat hukum saat itu mustahil dihindarkan, karena Nabi Muhammad Saw sendiri yang menjadi hakim-nya.

Bayang-bayang Fatimah al-Makhzumiyah akan menerima hukum potong (Surah al-Ma’idah/5: 38) tangan terus menghantui mereka. Dan jika hukum potongan tangan ini benar-benar diterapkan, mereka akan menanggung aib maha dahsyat, karena dalam pandangan mereka seorang keluarga bangsawan tidak layak memiliki cacat fisik. Lobi-lobi politis pun digalakkan supaya hukum potong tangan itu bisa diringankan atau bahkan diloloskan sama sekali dari Fatimah al-Makhzumiyah. Uang berdinar-dinar emas dihamburkan untuk upaya itu.

Puncaknya, Usamah bin Zaid, cucu Nabi Muhammad Saw dari anak angkatnya yang bernama Zaid bin Haritsah, lantas dinobatkan sebagai pelobi oleh Suku al-Makzumiyah. Kenapa Usamah? Karena Usamah adalah cucu yang sangat disayangi Nabi. Melalui orang kesayangan Nabi ini, diharapkan lobi itu akan menemui jalan mulus tanpa rintangan apapun, sehingga upaya meloloskan Fatimah dari jerat hukun bisa tercapai. Apa yang terjadi?

Upaya lobi Usamah bin Zaid, orang dekatnya, itu justru mendulang dampratan keras dari Nabi Muhammad Saw, bukannya simpati. Ketegasan Nabi dalam menetapkan hukuman tak dapat ditawar sedikitpun, hatta oleh orang dekatnya. Untuk itu, Nabi lantas berkata lantang: “Rusaknya orang-orang terdahulu, itu karena ketika yang mencuri adalah orang terhormat, maka mereka melepaskannya dari jerat hukum. Tapi ketika yang mencuri orang lemah, maka mereka menjeratnya dengan hukuman. Saksikanlah! Andai Fatimah bint Muhammad mencuri, niscaya aku sendiri yang akan memotong tangannya.” Itulah ketegasan Nabi dalam menegakkan hukum, hatta pada orang yang paling disayanginya sekalipun.

Kedua, keadilan ekonomi

Islam tidak menghendaki adanya ketimpangan ekonomi antara satu orang dengan yang lainnya. Karena itu, (antara lain) monopoli (al-ihtikar) atau apapun istilahnya, sama sekali tidak bisa dibenarkan. Nabi Muhammad Saw misalnya bersabda: Tidak menimbun barang kecuali orang-orang yang berdosa. (HR. Muslim). Orang yang bekerja itu diberi rizki, sedang orang yang menimbun itu diberi laknat. (HR. Ibnu Majah). Siapa saja yang menyembunyikan (gandum atau barang-barang keperluan lainnya dengan mengurangi takaran dan menaikkan harganya), maka dia termasuk orang- orang yang zalim.

Larangan demikian juga ditemukan dalam al-Qur’an. Allah SWT berfirman: Apa saja harta rampasan (fay’) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan; supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya di antara kalian saja. Apa saja yang Rasul berikan kepada kalian, terimalah. Apa saja yang Dia larang atas kalian, tinggalkanlah. Bertakwalah kalian kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya. (Surat al-Hasyr/59: 7).

Umar bin al-Khattab (khalifah Islam ke-2) pernah mengumumkan pada seluruh kawulanya, bahwa menimbun barang dagangan itu tidak sah dan haram. Menurut riwayat Ibnu Majah, Umar berkata, “Orang yang membawa hasil panen ke kota kita akan dilimpahkan kekayaan yang berlimpah dan orang yang menimbunnya akan dilaknat. Jika ada orang yang menimbun hasil panen atau barang-barang kebutuhan lainnya sementara makhluk Tuhan (manusia) memerlukannya, maka pemerintah dapat menjual hasil panennya dengan paksa.”

Dalam kaca mata Umar, pemerintah wajib turun tangan untuk menegakkan keadilan ekonomi. Sehingga ketika ada oknum-oknum tertentu melakukan monopoli, sehingga banyak pihak yang terugikan secara ekonomi, pemerintah tidak bisa tinggal diam apalagi malah ikut menjadi bagian di dalamnya. Mebiarkan dan atau menyetujui perbuatan mereka sama halnya berbuat kezaliman itu sendiri.

Ketiga, keadilan politik

Nabi Muhammad SAW bersabda: “Ada tujuh golongan yang bakal dinaungi oleh Allah di bawah naungan-Nya pada hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya, yaitu: Pemimpin yang adil (imamun adil), pemuda yang tumbuh dengan ibadah kepada Allah (selalu beribadah), seseorang yang hatinya bergantung kepada masjid (selalu melakukan shalat berjamaah di dalamnya), dua orang yang saling mengasihi di jalan Allah, keduanya berkumpul dan berpisah karena Allah, seseorang yang diajak perempuan berkedudukan dan cantik (untuk bezina), tapi ia mengatakan: "Aku takut kepada Allah", seseorang yang diberikan sedekah kemudian merahasiakannya sampai tangan kirinya tidak tahu apa yang dikeluarkan tangan kanannya, dan seseorang yang berdzikir (mengingat) Allah dalam kesendirian, lalu meneteskan air mata dari kedua matanya.” (HR Bukhari)

Pemerintah atau pemimpin yang adil akan memberi hak pada yang berhak, yang komitmen bertanggungjawab pada warganya. Tidak mudah menjadi pemimpin adil. Karena itu, kita tidak seharusnya berebut menjadi pemimpin. Inilah sebabnya Umar bin al-Khattab menolak usul pencalonan anaknya, Abdullah bin Umar, sebagai penggantinya. Namun prinsipnya, Islam memandang siapapun berhak menjadi pemimpin tanpa melihat latar belakangnya, hatta orang Habasyah (Etiopia sekarang) yang rambutnya kriting laksana gandum sekalipun. Dan, sebagaimana pesan Nabi Muhammad SAW, kepemimpinannya harus ditaati.

Keempat, keadilan berteologi/berkeyakinan

Islam memberikan kebebasan penuh bagi siapapun untuk menjalankan keyakinan yang dianutnya. Termasuk keyakinan yang berbeda dengan Islam sekalipun. Konsekuensinya, kebebasan mereka ini tidak boleh diganggu-gugat. Bahkan Muhammad Syahrûr menyatakan, percaya pada kekebasan manusia adalah satu dasar akidah Islam yang pelakunya dapat dipercayai beriman pada Allah SWT. Sebaliknya, kufr adalah tidak mengakui kebebasan manusia untuk memilih beragama atau tidak beragama.

Bukti kebebasan ini, antara lain: Allah SWT berfirman: Allah lebih tahu siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia lebih tahu siapa yang mendapat petunjuk. (Surah al-Nahl/16: 125). Redaksi yang mirip bisa ditemukan juga pada Sûrah al-Najm/53: 30 dan Sûrah al-Qalam/68: 7.

Dan katakanlah: kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu. Maka siapa yang ingin beriman, hendaklah ia beriman, dan siapa yang ingin kafir, biarlah ia kafir…. (Sûrah al-Kahf/18: 29).

Tidak ada paksaan untuk memasuki agama. Sesungguhnya telah jelas-jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat. Karena itu, siapa yang ingkar kepada taghut dan yang beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Sûrah al-Baqarah/2: 256).

Yang penting diperhatikan, adalah bahwa pilihan kepercayaan apapun yang kita anut, semua memiliki konsekuensinya masing-masing. Kesadaran untuk memilih keyakinan harus pula dibarengi oleh kesadaran akan konsekuensinya. Sehingga, pilihan kita betul-betul sebagai “pilihan yang bertanggungjawab” dan “bisa dipertanggungjawabkan.”

Kelima, keadilan kesehatan

Abu Hurairah meriwayatkan, Nabi Muhammad SAW bersabda: Sesungguhnya Allah SWT berfirman pada hari kiamat: Wahai bani Adam, Aku sakit dan kamu tidak menjenguk-Ku. Bani Adam bertanya: Wahai Rabbku, bagaimana bisa aku menjenguk-Mu sedang Engkau adalah Tuhan sekalian Alam? Allah menjawab: Tidakkah kamu melihat seorang hamba-Ku sedang sakit dan kamu tidak menjenguknya? Tidakkah kamu mengetahui, andaikata kamu menjenguknya, kamu mendapati-Ku di sisinya? (HR. Imam Muslim).

Hadis kudsi di atas menunjukkan, jika kita “menjenguk” – dalam pengertiannya yang luas – tetangga kita yang sakit, maka kita akan menemukan Allah SWT di sana. Tidak “menjenguk”nya berarti tidak menemukan-Nya. Apa maknanya? Kita bisa merenungkannya masing-masing. Yang jelas, dalam hal ini pemerintah juga wajib “menjenguk” warganya yang sakit. Siapapun dia dan apapun latar belakangnya. Cara “menjenguk”nya? Bisa saja dengan pengobatan geratis, dan sebagainya.

Keenam, keadilan pendidikan

Allah SWT berfirman: Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Surah al-Mujaadilah: 11). Nabi Muhammad SAW bersabda: “Tholabul ilmi farîdhotun 'alâ kulli muslim” (HR. Ibnu Majah). (Setidaknya) dua argumen ini, memberikan pengertian bahwa menuntut ilmu atau mendapatkan pendidikan, adalah hak bagi siapapun tanpa pandang latar belakang.

5. Universalisme Keadilan Islam

Keadilan dalam Islam itu universal dan tidak mengenal boundaries (batas-batas), baik batas nasionalitas, kesukuan, etnik, bahasa, warna kulit, status (sosial, ekonomi, politik), dan bahkan batas agama sekalipun. Pada orang yang berbeda keyakinan dan bahkan hewan sekalipun, keadilan harus ditegakkan.

Allah SWT berfirman: Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun ia adalah kerabat(mu), dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat. (Surah al-An’am/6: 152).

Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul, dengan membawa bukti-bukti nyata, dan telah Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca (keadilan) agar manusia dapat melaksanakan keadilan. (Surah al-Hadid/57: 25).

Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, biar pun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kerabatmu. Jika ia (yang tergugat atau terdakwa) kaya atau miskin, maka Allah lebih utama dari keduanya... (Surah al-Nisa'/14: 135).

Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil dan janganlah sekali-kali kebencian kamu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk tidak berlaku adil. Berlakulah adil, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, seungguhnya Allah Maha Mengetahui apa-apa yang kamu kerjakan. (Surah al-Maidah/5: 8)

Orang berbeda agama pun wajib diberi keadilan. Allah berfirman: Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan tuqsithu (berlaku adil) terhadap orang-orang (kafir) yang tidak menerangimu karena agama, dan tidak mengusirmu dari negerimu atau membantu orang lain untuk mengusir kamu... (Surah al-Mumtahanah/60: 8).

Kisah (a)
Seorang pria Mesir beragama Kristen Koptik (salah satu aliran Kristen yang berkembang di Mesir) mendatangi Umar bin al-Khattab di Madinah, yang kala itu sebagai pemimpin kaum muslim, untuk mencari keadilan.

Pria Mesir itu berkata, “Wahai Amirul Mukminin, aku mencari perlindunganmu dari penindasan.” “Kamu telah mencari perlindungan d imana ia seharusnya dilindungi,” jawab Umar.

“Ketika aku sedang berlomba dengan putra Amr bin Ash, aku berhasil mengalahkannya. Namun kemudian dia memukuli aku dengan cambuknya dan berkata: ‘aku adalah putra bangsawan’!” cerita pria Mesir mengadu.

Mendengar pengaduan itu, Umar yang dikenal adil dan bijaksana itu berang. Ia ingin memberikan keadilan pada orang Kristen Koptik itu. Umar lalu menulis surat untuk Amr bin ‘Ash (gubernur Mesir saat itu) dan memerintahkannya segera menghadap beserta putranya.

“Ke mana Pria Mesir itu? Suruh dia ambil cambuk dan pukul putra Amr!” pinta Umar. Pria Mesir itu pun menuruti perintah Umar. Ia memukuli putra Amr bin Ash dengan cambuk.

Anas berkata, “Maka dia memukuli putra Amr. Demi Allah, ketika pria Mesir itu memukulinya, kami kasihan dan meratapinya. Dia tidak berhenti sampai kami menghentikannya.”

Kemudian Umar berkata pada Pria Mesir itu, “Sekarang pukulkan cambuknya ke kepala Amr yang botak itu.”

Pria Mesir itu bingung dan menjawab, “Ya Amirul Mukminin, yang menganiaya aku itu putranya, dan aku telah menyamakan kedudukanku dengannya.”

Umar lantas bertanya pada Amr bin ‘Ash, “Sejak kapan kamu telah memperbudak rakyatmu, padahal ibu-ibu mereka telah melahirkan mereka sebagai orang-orang merdeka?”

“Ya Amiral Mukminin, aku telah lalai dan pria Mesir itu tidak mendatangiku untuk mendapatkan keadilan,” jawab Amr.

Kisah (b)
Ali bin Abi Thalib (Khalifah Islam ke-4), pernah menemukan baju besinya di rumah seorang Yahudi. Maka Ali mengadukan Yahudi itu ke pengadilan karena diduga mengambil bajunya. Sayangnya, Ali tidak bisa membuktikan bahwa baju besi itu miliknya. Maka hakim memutuskan, yang salah adalah Ali dan yang berhak atas baju itu adalah Yahudi. Ali pun menerima keputusan pengadilan itu, kendati posisinya sebagai kepala negara dan yang dihadapi rakyatnya sendiri.

6. Pelaksana Keadilan

Islam hanya menekankan prinsip keadilan dan pentingnya keadilan bagi semua. Perihal bagaimana cara mendapatkan keadilan, itu sepenuhnya diserahkan pada umatnya. Termasuk bagaimana membangun negara yang akan menjadi sarana tercapainya keadilan, itu juga tidak diatur oleh Islam. Mau berasas Islam, sekuler, demokrasi, teokrasi, teodemokrasi, dan apapun namanya, yang penting ditekankan adalah KEADILAN.

Yang jelas, siapapun kita, baik sebagai individu maupun pemerintah, harus menjadi martir penegakan keadilan sesuai jangkaun wilayah kita. “Kalian semua adalah pemimpin, dan kalian semua akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinan kalian/kullukum ra’in wa kullukum mas’ulun ‘an ra’iyyatih,” pesan Nabi Muhammad SAW.

7. Buah Keadilan

Keadilan, dalam hal apapun, akan membuahkan kedamaian dan kesejahteraan. Inilah inti kemaslahatan bagi umat. Dan ini lebih mungkin dilaksanakan oleh para pemimpin atau pemerintah. Untuk itu, tasharruf imam ala al-ra’iyyah manuthun bi al-maslahah (kebijakan pemimpin bagi warganya harus diorientasikan untuk kemaslahatan mereka). Sayyidul qaum khadimuhum (pempimpin umat adalah pelayan bagi mereka). Pemimpin harus melayani umatnya untuk mendapatkan keadilan ini. Karena itu, keadilan yang berujung pada kedamaian dan kesejahteraan harus dikejar terlebih dahulu ketimbang urusan pribadi ataupun golongan.

Ada kisah, khalifah Harun al-Rasyid pernah disindir sufi-pembanyol Nasruddin Hoja. “Kamu pilih keadilan atau harta?” tanya khalifah. “Harta!,” jawab Nasruddin tegas.

Khalifah marah bukan kepalang. “Harusnya yang kamu pilih keadilan. Itu juga yang saya pilih,” kata khalifah berang. “Orang memang akan menginginkan apa yang tidak dimilikinya,” jawab Nasruddin ringan.

Nasruddin punya keadilan, tapi tak punya harta, makanya ia menginginkan harta. Khalifah punya harta, tapi tak punya keadilan, makanya ia menginginkan keadilan. Bagaimana kita di negeri ini? Bahkan kita tidak punya dua-duanya! Inilah cermin masyarakat yang bangkrut. Wa Allah a’lam bi al-sawab.[]

*Makalah disampaikan dalam diskusi terbatas di Yayasan PADMA Indonesia, Tebet Jakarta, Kamis, 5 Juni 2008.

Tuesday, April 22, 2008

Rasulullah dan Tetangga Non-muslimnya

Oleh Nurul H. Maarif

cah-elikRasulullah Saw adalah teladan kebaikan atau uswah hasanah (Surah al-Ahzab [33] : 21). Ibarat mata air, aneka kebaikan terus menyembur dari dirinya, tiada habis-habisnya. Dan, tak sebutir keburukanpun yang muncul darinya.

Akhlak beliau adalah cermin keagungan. Perangainya cermin kemuliaan. Maka tak heran, jika permaisuri tercintanya, 'Aisyah binti Abi Bakr berucap takjub; kana khuluquhu al-Qur'an/akhlak beliau adalah al-Qur'an. (Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, jilid V, h. 163). Akhlak al-Qur'an, tak syak lagi, adalah seagung-agung dan semulia-mulia akhlak.

Itulah teladan paling agung (sekaligus paling berat untuk ditiru) dari Rasulullah Saw. Beliau, seperti diakuinya, memang diberi mandat oleh Allah Swt li utammima makarim al-akhlaq/untuk menyempurkan moralitas (HR al-Hakim dan al-Baihaqi).

Karena itu, sebagai umatnya, sudah seharusnya kita menimba banyak-banyak mata air akhlak itu dari Rasulullah Saw, untuk diamalkan dalam keseharian kita di tengah masyarakat. Inilah sejatinya inti bi'tsah beliau ke dunia fana ini, untuk mewujudkan misi rahmatan lil 'alamin/kerahmatan bagi semua makhluk (Surah al-Anbiya' [21] : 107).

Diantara kemuliaan akhlak Rasulullah Saw, adalah tata krama atau etikanya dalam menjalin hubungan sosial dengan para tetangganya. Diceritakan, suatu ketika Aisyah r.a. menyelenggarakan kenduri dengan menyembelih kambing.

Seusai matang, oleh Aisyah r.a., masakan daging kambing itu lantas dibagi-bagikan pada tetangga dekatnya. (Ini sesuai anjuran Rasulullah Saw, jika kita memasak, hendaklah diperbanyak kuahnya, supaya para tetangga juga turut merasakannya/HR Muslim dan al-Darimi).

"Isteriku, apakah Si Fulan juga telah dikirimi masakan?" tanya Rasulullah Saw memastikan.

"Belum! Dia itu Yahudi dan saya tidak akan mengiriminya masakan," jawab Aisyah r.a. tegas.

Apa reaksi Rasulullah Saw? Beliau tetap meminta Aisyah r.a. untuk mengiriminya. "Kirimilah! Walaupun Yahudi, ia adalah tetangga kita," pinta Rasulullah Saw beralasan.

Itulah etika bertetangga Rasulullah Saw. Beliau "mengritik" sikap isterinya sendiri yang memilih-milih dan memilah-milah tetangga berdasarkan latar belakang agamanya. Bagi beliau (dan seharusnya bagi umatnya), tetangga tetaplah tetangga sampai kapanpun, tiada peduli latar belakang suku, agama, ras, golongan dan sebagainya. Karena itu, pada kesempatan lain, beliau mengategorikan tetangga menjadi tiga.

Pertama, tetangga yang memiliki satu hak. Inilah tetangga yang paling rendah haknya. Mereka ini tetangga yang musyrik dan tidak memiliki tali atau darah kekeluargaan. Mereka memiliki hak sebagai tetangga.

Kedua, tetangga yang memiliki dua hak. Mereka ini tetangga yang beragama Islam. Mereka memiliki hak sebagai tetangga dan memiliki hak sebagai muslim.

Dan ketiga, tetangga yang memiliki tiga hak. Inilah tetangga yang paling tinggi haknya. Mereka ini tetangga yang beragama Islam sekaligus memiliki tali atau darah kekeluargaan. Mereka memiliki hak sebagai tetangga, muslim, dan keluarga. (HR al-Bazzar dari Jabir bin Abdillah).

Anjuran berbuat baik pada tetangga, dengan tanpa melihat apapun latar belakangnya, juga kita temukan dalam Surah al-Nisa' [4]: 36. Tetangga, dalam ayat ini, dibedakan menjadi dua: al-jar dzi al-qurba (tetangga dekat) dan al-jar al-junub (tetangga jauh).

Abu al-Fida' Isma'il bin Katsir, dalam Tafsir al-Qur'an al-'Adhim, (Kairo: al-Maktab al-Tsaqafi, 2001 M, jilid I, h. 483), menukil beberapa penafsiran untuk mejelaskan hal ini. Misalnya, penafsiran Ibn 'Abbas yang menyatakan, al-jari dzi al-qurba adalah mereka yang memiliki hubungan kekerabatan dengan kita. Sedang al-jar al-junub, adalah mereka yang tidak memiliki hubungan kekerabatan dengan kita.

Penafsiran lainnya dari Nauf al-Bukali, al-jar dzi al-qurba adalah al-jar al-muslim (tetangga yang muslim). Sedang al-jar al-junub adalah al-Yahudi wa al-Nashrani (Yahudi dan Kristen).

'Abd al-Rahman bin 'Ali bin Muhammad al-Jauzy, dalam Zad al-Masir fi 'Ilm al-Tafsir (Beirut: al-Maktab al-Islami, 1404 H, jilid II, h. 78-79) juga menukil riwayat yang kurang lebih sama. Namun ditambahkannya, al-jar dzi al-qurba itu terjadi karena faktor ke-Islam-an itu sendiri.

Tiada Sekat
Kategorisasi tetangga yang diberikan Rasulullah Saw di atas, menyiratkan pelajaran dan keteladanan sangat peting bagi kita. Bagi beliau, kebertetanggaan tidak seharusnya disekat oleh latar belakang apapun.

Hatta pada tetangga yang musyrik sekalipun, beliau tidak lantas menjauhinya. Bagi beliau, mereka tetap memiliki satu hak sebagai tetangga dan hak itu harus ditunaikan. Untuk itu, komunikasi, relasi sosial dan hubungan kemasyarakatan tetap penting di jalin dengan mereka. Dan itu dibuktikannya melalui traktat Piagam Madinah.

Satu hal yang terlarang dijalin bersama mereka adalah akidah. Soal akidah ini, harus ada garis demarkasi yang jelas dan tegas. Kita adalah kita dan mereka adalah mereka. Tidak boleh ada pencampurbauran.

Dalam al-Qur'an disebutkan dengan terang, lakum dinukum wa liya din/bagimu agamamu dan bagiku agamaku (Surah al-Karifun [109] : 6). Akibatnya pun harus ditanggung masing-masing di hadapan Allah Swt kelak.

Pertanyaannya kini; jika demikian agung dan mulianya etika bertetangga Rasulullah Saw, sudahkah kita meneladaninya? Sudahkah kita hidup berdampingan secara rukun dan damai dengan tetangga kita yang non-muslim?

Tampaknya tidak mudah menjawab pertanyaan itu. Karena alih-alih dengan tetangga yang non-muslim, dengan tetangga muslim yang beda riual qunut subuh, tahlil, wirid, ziarah kubur atau maulid saja, kita acapkali masih saja 'berantem' tiada henti. Seakan tiada kata damai diantara kita.

Lantas, kapan kita akan mulai meneladani etika bertetangga a la Rasulullah Saw, untuk mewujudkan misi rahmatan lil 'alamin itu? Wa Allah a'lam.[]

Banten, Selasa, 17 Maret 2008

Wednesday, April 09, 2008

Dakwah Islam di Dunia Digital

Oleh Nurul H. Maarif

Urul"Tiga puluh tahun lagi, tidak akan ada koran dan buku," demikian kata seorang kawan, beberapa waktu lalu. Pernyataan yang mengagetkan, sekaligus mengkhawatirkan ini, ujarnya didasarkan pada analisis para pakar media. Koran dan buku, katanya, akan tergantikan oleh teknologi digital. Para penerbit pun ditaksir akan gulung tikar.

Saudara sepupu penulis, yang kini tengah menekuni Program Studi Ilmu Komputer Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, juga menyatakan hal yang kurang lebih sama. "Ini mungkin agak bodoh. Saya ingin mendirikan pesantren tahfidh, dengan basis skill ilmu komputer. Islam harus lebih digital," kata Santri Ponpes Sunan Pandan Aran Kaliurang Yogyakarta, yang tengah menghafal al-Qur'an ini.

Keinginan yang disebutnya "agak bodoh" ini, juga didasarkan pada prediksi jauh ke depan. Dunia kelak akan kian mengglobal. Semua serba berteknologi canggih. Tak menguasai teknologi, berarti ketinggalan kereta. Pertarungan dakwahpun akan lebih hebat terjadi di dunia maya (digital), bukannya di media cetak.

Untuk menghadapi era seperti ini, Islam -- terutama Islam pesantren -- harus bersiap diri. Inilah "masa depan" Islam. Al-hamdulillah, kini muncul kesadaran baru di kalangan santri. Banyak di antara mereka yang serius menekuni bidang eksakta di berbagai universitas, baik di dalam maupun luar negeri.

Program Studi Ilmu Komputer, Teknik Informatika, Sistem Informasi, dan seterusnya, yang biasanya dinilai tabu bagi kaum sarungan, kini menjadi santapan mereka. Santapan yang sama lezatnya dan sama bergizinya dengan kitab kuning. Dikotomi ilmu dunia dan ilmu akhirat yang dilontarkan Imam al-Ghazali (w. 505 H/1111 M), tengah mereka "terobos".

Baiknya lagi, Depag RI lekas menyadari kebutuhan ini. Melalui program Beasiswa Santri Berprestasi, Depag menggelontorkan miliaran rupiah untuk menguliahkan para santri di bidang eksakta � kendati penerimanya kebanyakan dari pesantren besar dan pesantren kecil di kampung-kampung, seakan tak berkesempatan dan terlupakan.

Islam Digital
Pertanyaannya, benarkah semua akan berubah menjadi digital? Melihat perkembangan yang ada, tidak mustahil ini jadi kenyataan. Jika kita mau meluangkan waktu sebentar untuk berselancar (browsing) di dunia digital, betapa informasi keislaman dari berbagai bidang tersedia di sana. Ibarat menu makanan, apapun yang ingin kita santap telah tersaji. Situs-situs keislaman -- dari yang bervisi keras, lunak, bahkan liberal -- semua ada.

Keserbatersediaan ini, pada gilirannya bisa menggulung eksistensi perpustakaan reguler yang ada. Juga mengancam eksistensi kitab kuning yang sehari-hari ditelaah para santri. Kitab kuning, yang khas dengan bau kertasnya, akan menjadi kenangan (semoga tidak pernah terjadi). Apalagi, kini telah muncul program canggih "literatur digital" semisal al-Maktabah al-Syamilah (berisi ribuan e-book kitab tafsir-ilmu tafsir, hadis-ilmu hadis, fikih-ushul fikih, teologi, akhlak, spiritual, bahkan aneka kamus Arab dan sebagainya).

Ada juga Maktabah al-Fiqh wa Ushulihi (berisi ribuan kitab fikih dan ushul fikih dari berbagai mazhab) dan al-Maktabah al-Alfiyyah li al-Sunnah al-Nabawiyyah (berisi ribuan kitab hadis), dan masih banyak lagi. Menggunakan "literatur digital" ini, dengan sangat mudah dan cepat, kita akan menemukan tema keislaman apapun yang kita inginkan. Inilah yang disebut era Islam digital.

Respon Santri
Bagaimana pesantren, yang kebanyakan ada di kampung-kampung, merespon hal-hal yang barangkali belum disadari, apalagi dibayangkannya ini?

Pertama, suka tidak suka, hal ini akan terjadi cepat atau lambat. Siapapun, termasuk pesantren, tidak bisa berkelit. Inilah konsekuensi zaman serba global dan modern. Di satu sisi, hal ini perlu dikhawatirkan karena alasan-alasan di atas. Di sisi lain, ia akan memudahkan kerja dakwah Islam. Pesantren mesti mengambil sisi positifnya, dengan membuang sisi negatifnya. Ini sesuai kredo pesantren: al-muhafadhah ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah (melestarikan tradisi lama yang baik, dan mengadopsi tradisi baru yang lebih baik).

Kedua, kitab kuning harus tetap dilihat sebagai aset keislaman yang penting, terutama bagi pesantren, yang karenanya harus dipertahankan hingga "titik darah penghabisan". Tanpanya, kekhasan pesantren akan pudar. Ia tidak seharusnya tergantikan oleh apapun juga.

Ketiga, pesantren harus mengupayakan penanaman skill teknologi pada santri. Mungkin serba perlahan, karena ini membutuhkan ongkos tidak murah; baik materiil maupun moril (apalagi mungkin masih ada pesantren yang mengharamkan teknologi). Tapi tidak ada yang mustahil bagi pesantren. Dan tentu saja, negara harus mendukungnya. Melalui Depag misalnya, negara bisa memberi fasilitas teknologinya.

Keempat, pesantren harus mulai memikirkan dakwah Islam damai di dunia digital; dunia tanpa batas ruang dan waktu. Jangkauan aksesnya tak bisa dibatasi apapun. Jika pesantren bisa berdakwah melalui jalur ini, masa depan Islam dan pesantren tak lagi suram. Pesantren niscaya bisa bersaing dengan siapapun, untuk tujuan li i'lai kalimah Allah (untuk mengunggullkan kalimat Allah).

Dan al-hamdulillah, kini banyak pesantren besar, baik yang modern maupun tradisional, memiliki perhatian serius soal dakwah digital ini. Bahkan mereka punya situs sendiri. Sebut saja Ponpes Sidogiri Pasuruan, Ponpes Modern Gontor, Ponpes Buntet dan Ponpes Dar al-Tauhid Cirebon, Ponpes Darul Ulum Jombang, Ponpes Nurul Jadid Paiton, Ponpes Sunan Pandan Aran Yogyakarta, dan masih banyak lagi.

Mereka telah mulai menapaki kerja dakwah di dunia digital. Siapa menyusul? Wa Allah a'lam.[]

Sunday, March 02, 2008

al-Farabi dan Gagasan Negara Ideal

Oleh Nurul H. Maarif

UrulAbu Nashr bin Audagh bin Thorhan al-Farabi (w. 339 H/950 M), biasa disebut al-Farabi, adalah salah satu cendekiawan muslim (filosof) yang memiliki konsep kenegaraan cukup baik. Konsep ini dikemas dengan bungkus al-madinah al-fadhilah, the best country atau juga negara ideal. Bagaimana penjelasan konsep ini?

Inti filsafat kenegaraan al-Farabi, seperti diuraikannya dalam karya Ara' Ahl al-Madinah al-Fadhilah, berupa autokrasi dengan seorang raja (kepala negara) berkuasa mutlak mengatur tatanan negara. Karenanya, sebagaimana Plato sang idolanya, al-Farabi mengecam negara yang dibangun di atas landasan demokrasi. Menurut al-Farabi, negara yang baik adalah negara yang rakyatnya tunduk patuh pada kepala negara. Ini seperti posisi para shahabat di depan Nabi Muhamamd SAW sebagai pemimpin mereka.

Dalam hal ini, al-Farabi membedakan negara menjadi lima kategori, yakni; Pertama, negara utama (al-madinah al-fadhilah). Ia merupakan cermin negara yang memperjuangkan kemakmuran dan kesejahteraan warga negaranya. Segala kebijakan yang ditetapkan, senantiasa diorientasikan demi kemaslahatan rakyat, bukan kepentingan golongan apalagi pribadi.

Di negara ini, tidak dikenal hukum rimba yang kuat memangsa yang lemah. Penguasa tidak bertindak sebagai macan yang mencaplok rakyat jelata. Bila kepentingan rakyat berhasil ditempatkan di atas segalanya, serta-merta akan tercipta negara utama yang penuh ketenteraman, kedamaian, dan kesejukan. Rakyat akan merasa terlindungi hak-haknya. Supremasi hukum akan dapat ditegakkan. Rasa aman menyelimuti warganya dan perekonomianpun berkembang pesat.

Kedua, negara sesat (al-madinah al-dhalalah), yaitu negara yang berdiri congkak di atas kebodohan rakyat tentang kebenaran. Rakyat akan berbuat semaunya, tanpa ada kontrol dan etika kebenaran. Kebebasan benar-benar menjadi trend nomor wahid. Kehidupan kacau, karena tidak terikat perilaku kebenaran. Tatanan norma tidak berlaku sama sekali. Bahkan tindakan-tindakan mereka lebih mengarah pada perilaku destruktif dan anarkis.

Ketiga, negara jahil (al-madinah al-jahilah), yakni negara yang rakyatnya selalu mengikuti jalan kejahatan. Negara ini berbeda dengan negara sesat yang rakyat tidak menyadari kejahatannya. Rakyat dalam negara jahil sadar atas kejahatan yang diperbuat. Mereka sadar menyimpang, tapi tidak malakukan pertaubatan. Mereka malah buru-buru mencari kebahagiaan dan kenikmatan lain yang fana. Menurut al-Farabi, negara jahil dapat dicirikan dengan, 1) rakyatnya melulu berusaha memenuhi kebutuhan jasmani, 2) berdagang untuk menumpuk kekayaan (kapitalis), 3) terpesona oleh kenikmatan keji, 4) gila hormat, 5) haus (rakus) kekuasaan, dan 6) membiarkan hawa nafsu terumbar secara liar. Dapat dibayangkan, apa yang bakal menimpa sebuah negara yang berdiri di atas kepentingan-kepentingan fana ini?

Keempat, negara imoril (al-madinah al-al-fusqah), yakni negara yang rakyatnya telah mengenal kebenaran mengenai tuhan, akhirat, dan kebahagiaan sejati. Hanya saja, mereka hidup di luar konsep-konsep itu. Padahal, kebahagiaan sejati hanya akan dicapai melalui kebaikan dan pengamalan terhadap konsep-konsep itu. Karenanya, mereka tidak akan pernah mengenyam kebahagiaan sejati.

Kelima, negara massa (al-madinah al-jami'ah). Dalam negara bentuk ini, rakyat cenderung serba bebas untuk berbuat semau gue. Semua unsur masyarakat sama rasa sama rata. Warga pribumi dan non-pribumi disamakan secara mutlak. Pemimpin yang 'baik' dan 'ideal' dalam pandangan mereka, adalah yang paling cakap menyediakan kesempatan untuk melampiaskan nafsu. Bahkan lebih jauh lagi, rakyat tidak perlu mentaati perundang-perundangan yang diberlakukan pemerintah.

Kepala (otak) silahkan pandai dan pintar, namun tidak berhak memerintah orang lain. Mereka juga tidak memberikan perhatian terhadap pendidikan kepemimpinan, sehingga calon-calon pemimpin yang ideal (bukan menurut selera mereka, tapi benar-benar ideal) pun tak pernah ada. Pemimpin tidak ada artinya sama sekali, kecuali pemimpin yang seide dalam membuat kerusakan. Bila ini terjadi, negara akan terjerumus pada tindakan destruktif dan anarkis.

Dalam kaitannya dengan lima bentuk negara di atas, al-Farabi memandang bentuk negara pertamalah, al-madinah al-fadhilah, yang dapat disebut sebagai negara ideal. Menurutnya, dalam negara ini, kepala negara adalah satu-satunya person yang memegang peranan penting sekaligus sebagai person terpenting. Kepala negara dituntut berasal dari sosok yang paling sempurna dan cakap -- baik moril, intelektual, maupun menejerial -- diantara masyarakat yang ada. Kepala negara dituntut berani, tegas, dan cepat dalam mengambil keputusan. Ia tidak boleh tergiur oleh iming-iming duniawi. Apalagi hobi korupsi.

Bakat menjadi panglima perang juga menjadi prasyarat pemimpin negara tipe ini. Bakat ini bukan berarti harus militer. Siapapun dan dari latar belakang apapun, yang mempunyai kemampuan mengatur siasat keamanan, perekonomian, dan politik, perlu disokong sebagai kepala negara. Dan yang tidak boleh dilupakan, menurut al-Farabi, kepala negara harus zahid (tidak gila harta) dan jauh dari tindak korupsi. Sebab, jika faktor cinta dunia mendominasi ambisinya, penindasan demi penindasan, ketimpangan demi ketimpangan, kebrutalan demi kebrutalan, kerusuhan demi kerusuhan, akan terjadi di mana-mana. Akibatnya, cita-cita mewujudkan negara idealpun akan terbengkalai.

Menurut pembaca, Indonesia termasuk kategori negara yang mana? Wa Allah a'lam.[]

(Radar Banten, Jum'at, 29 Februari 2008)